Jumat, 20 Juni 2008 | 03:00 WIB
Sebenarnya ini cuma masalah alas kaki! Cuma? Hmmm bagi sebagian orang alas kaki alias sepatu bukan sekadar ”cuma”. Mereka sudah menganggap sepatu sebagai bagian dari jiwa.
Maksudnya? Pernah enggak sih kalian merasa kalau enggak pakai sepatu atau mengoleksi sepatu seakan jiwa ini tercerabut dari akarnya? Seolah kalian merasa berjalan ”telanjang” karena enggak pakai sepatu atau pakai sepatu, tapi enggak sesuai dengan selera?
Sepatu juga telah menjadi gaya hidup! Dari kelompok yang menganggap sepatu sebagai gaya hidup terbelah lagi, ada yang menganggapnya sekadar untuk gaya, tapi ada juga yang menjadikannya sebagai ”ideologi”. Hah?
Dia menganggap sepatu tak sekadar aksesori, tak hanya dilihat fungsinya sebagai pemanis kaki, tapi sebagai ”pilihan hidup”, sebagai ”pasangan” atau ”teman jiwa” yang menentukan jati diri, identitas dia! Waks....
Soal alas kaki ini enggak bisa diremehkan dalam budaya kontemporer kaum urban. Biar tempatnya di kaki, tapi sepatu justru dianggap terhormat. Bahkan, lebih terhormat dari harta benda yang pernah dia miliki. Apa iya?
Lihat saja bagaimana komunitas sneakers menekuni, mengagumi, dan menghargai sepatu itu. Sepatu atletik merupakan istilah generik alas kaki yang sering digunakan untuk aktivitas olahraga. Di beberapa tempat, misalnya di kawasan Amerika, Australia, juga Asia, orang menamakannya sneakers. Di belahan bumi lain ada yang memberi istilah trainers, sandshoes, running shoes, runners, sneaks, takkies, gym shoes, tennies shoes, sport shoes, dan masih banyak istilah regionalnya.
Sepatu atletik ini biasanya menggunakan sol karet yang tak berbunyi saat kita berjalan. Coba bayangkan kalau solnya pakai kayu, kan kayak bakiak, bunyinya ceplok-ceplok enggak bisa untuk sneaking kan?
Istilah sneakers dipopulerkan oleh Henry Nelson Mckinney, ahli pemasaran, pada 1971. Tapi, tulisan ini enggak mau membahas sejarah sneakers lho, kami mau lebih fokus pada aktivitas Urbanfest yang akan digelar pada 28-29 Juni nanti di Ancol, Jakarta.
Koleksi ”sneakers”
Eunice Nuh Tantero, kurator untuk karya seni yang akan ditampilkan di Urbanfest 2008, mengatakan bakal mengusung karya visual berupa lukisan (termasuk stiker dan stensil), sneakers, vector art, dan desainer toy.
”Desainer toy ini desain yang diterapkan pada media kayak mainan, tapi bukan action figure, lebih ke art,” tuturnya.
Akan dihadirkan seniman dari berbagai kota, misalnya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Khusus sneakers diharapkan akan mendapat banyak respons pengunjung muda karena menghadirkan dua kategori, yakni modifikasi sneakers dan koleksi langka.
”Untuk modifikasi akan menghadirkan lima orang yang memajang karya-karyanya di Urbanfest,” ujarnya.
Seperti apa karya modifikasi sneakers mereka? ”Oh itu rahasia, mereka akan memamerkan di Urbanfest saja,” kata Eunice. Di Urbanfest juga akan ada demo bagaimana memodifikasi sneakers, pengunjung bisa melihat mereka mengoprek sepatu, bertanya, atau berbagi pengalaman.
Untuk koleksi sneakers, lebih menghadirkan sepatu yang memiliki sejarah, keunikan, dan langka. Peserta untuk kategori sneakers menghadirkan Mattania Nuh Tantero, kolektor muda yang tahun lalu menyabet gelar Best Collection versi Nikesb.org. Sneakers bagi Mattania adalah media kanvas untuk mengekspresikan rasa seni.
Saat berkunjung ke rumahnya, MuDA melihat tiga koleksi yang diklaim sebagai langka. Mattania mulai mengoleksi sepatu atletik itu sejak beberapa tahun lalu karena sejak kecil ia sudah suka sneakers.
”Dapat sneakers seperti ini biasanya dari informasi teman. Tapi, karena di Indonesia masih sedikit, referensinya paling banyak dari luar negeri,” katanya.
Tiga koleksi yang ditunjukkan adalah sneakers Band Deftones yang merupakan sneakers Nike edisi terbatas, dirilis untuk personel dan kru band Deftnones. ”Harganya berkisar 2.000 hingga 2.200 dollar AS,” kata Mattania.
Koleksi kedua adalah Gucci Dunk seharga 2.800 dollar AS. ”Koleksi ini hanya dibuat Nike untuk contoh dan tidak jadi dirilis di pasar,” ujarnya.
Koleksi ketiga adalah sneakers berwarna lurik Freddy Krueger yang konon digunakan untuk shooting film Freddy Krueger. ”Kalau ini harganya 5.200 dollar AS di pasaran.”
Dari pengalamannya mengoleksi sneakers, ia mengaku baru menjual satu pasang. ”Saya mengoleksi ini memang tidak untuk bisnis, tapi karena hobi,” tuturnya.
Untuk mengecek apakah sneakers yang dibeli itu asli atau tidak, dia punya cara, salah satunya dengan membaca barcode dan kode-kodenya. Sneakers palsu tak bisa menjiplak barcode asli. Selain dengan mengecek di barcode, dia juga bertanya di berbagai forum komunitas sneakers via internet.
Dari total 40 pasang koleksinya, Mattania berjanji menghadirkan koleksi terbaik pada Urbanfest. ”Masih dirahasiakan mana yang akan ditampilkan. Kalau udah dikasih tahu sekarang kan enggak surprise lagi,” katanya
”Art vector”
Seni gambar berbasis vektor umurnya relatif masih muda. Merupakan hasil olahan dari garis, bentuk, warna, dengan satuan piksel untuk menghasilkan karya. Dengan bahasa sederhana, gambar apa pun yang dilakukan di komputer dengan satuan piksel. Sesuai dengan segmennya yang full computerize, seni ini banyak ditekuni orang muda yang akrab dengan dunia komputer.
Dalam Urbanfest nanti akan ditampilkan karya beberapa seniman muda yang mengandalkan komputer dan software pemroses grafis untuk mengekspresikan seni. Ronny Aldrianto mau menampilkan karya abstrak dan pop.
”Saya akan menggunakan warna-warna pop dengan menampilkan karya yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Adi Triharsono Iman, pekerja seni lainnya, juga akan menampilkan karya serupa. Ia mengambil inspirasi film indie AS dan direfleksikan dalam kehidupan kini. Kata Adi, art vector merupakan seni tersendiri yang, seperti karya urban lain, rawan pembajakan, entah pembajakan ide atau desain.
”Memang tak terhindarkan lagi hal seperti itu. Apalagi, di dunia komputer. Sekarang tinggal kitanya, hanya moral yang bisa mengontrolnya,” ujarnya.
Eunice selaku kurator mengerti betul kondisi seperti itu. ”Pembajakan karya seni sesuatu yang mewabah di dunia urban. Susah membedakan apakah karya itu orisinal atau tidak. Yang jadi pegangan tinggal moral masing-masing. Tiap pekerja seni dituntut punya touch dan jiwa dari karyanya. Ciri khas seseorang itulah yang akan dibawa sampai mati,” katanya. (AMIR SODIKIN)




